Cinta, Bukan Es Teh Manis


Karena cinta tidak akan pernah bisa dipesan, apalagi dipaksakan

 

Seperti yang kita ketahui (atau pura-pura tidak mengetahui), cinta datang tanpa petunjuk dan bantuan customer service. Cinta adalah makhluk aneh yang tidak bisa dijelaskan asal mula, keberadaan, dan tujuannya. Terkadang kita mendapati diri kita bertanya kepada cinta, “Siapa kamu, dan apa maumu?” Namun banyak juga yang bilang kalau cinta itu tidak untuk dimengerti, tapi untuk dirasakan. Tetapi, kata siapa cinta itu hanya untuk dirasakan? Nah, mari minggu ini kita mencoba mengerti cinta secara objektif. Ayo kenakan jas lab, pakai kacamatamu, dan mari kita kupas habis si makhluk aneh!

 

Pada satu waktu, teman saya, Alia, mengajak bertemu karena ingin bercerita. Ternyata, pacarnya berselingkuh.

“Seharusnya kita menikah tahun depan,” Kata Alia, sambil menahan air matanya.

Yang akan saya bahas bukanlah cerita tentang pacar Alia yang berselingkuh, namun apa yang Alia katakan setelah dia mencurahkan kesedihannya.

“Maaf ya, Cha. Gue jadi buang waktu lo untuk ngomongin cinta-cintaan yang nggak penting ini.”

 

Bicara cinta itu buang-buang waktu

Ya, saya jadi penasaran, mengapa Alia berpikir bahwa membicarakan cinta-cintaan itu buang waktu? Setelah kejadian itu, saya jadi mulai memancing pembicaraan tentang cinta dengan orang-orang di sekitar saya. Reaksinya sangat menarik.

“Aduh, Cha. Kita nggak ada waktu lah buat cinta-cintaan, mending ngomongin kerjaan atau investasi.”

“Duh, cinta kan buat anak SMA. Ingat umur, Cha.” (Sumpah, saya tidak pernah melupakan umur saya!)

Banyak ketidakmauan untuk membahas cinta, yang membuat saya bertanya-tanya. Mengapa teman-teman saya lebih senang membahas hal yang berbau pekerjaan, kesuksesan, kekayaan dan ketenaran? Apakah karena cinta itu tidak profitable, kecuali untuk jiwa kita? Bukankah kita semua membutuhkan cinta? (Ya, saya pun masih suka meringis ketika menyebut kata ‘cinta’, tetapi marilah kita bersama mencoba membiasakan diri dengan bahasa dari negara sendiri)

 

Cinta = ilmu yang perlu dipelajari

Kemudian, memori saya mengingatkan saya akan sebuah buku yang berjudul The Art of Loving, karangan Erich Fromm, seorang ahli filsafat, psikolog dan humanitarian asal Jerman yang akan berusia 115 tahun apabila masih hidup sampai sekarang. Di dalam bukunya, Fromm menjelaskan cinta sebagai seni, sebagai ilmu yang perlu dimengerti, sebelum diperjuangkan. Hmm.. frase ‘perjuangkan cinta’ menjadi sesuatu yang masuk akal. Menurut Fromm, cinta bukanlah sesuatu yang natural secara permanen. Layaknya ilmu yang lain, cinta juga membutuhkan disiplin, kesabaran, konsentrasi, kepercayaan dan keberanian untuk tidak memikirkan diri sendiri, untuk bisa bertahan.

 

All You Need is Love? Masa, sih?

Kalau saya boleh jujur (boleh, kan?), dulu saya adalah orang yang selalu mencibir ketika mendengar lagu “All you need is love.” Alasannya, adalah karena menurut saya kalimat itu terlalu naif dan penuh mimpi, sehingga tidak menyisakan ruang untuk realita. Pada saat itu, saya merasa bahwa menjadi seorang pesimis akan membantu saya mendekatkan diri dengan realita, dibanding menjadi seseorang yang berpengharapan. Yah, cinta memang bukanlah topik yang aman untuk seorang pemalas yang terus mencari aman, seperti saya waktu itu (dan saya masih tetap malas sampai sekarang). Kemudian, Erich Fromm menampar saya dengan penjelasannya yang masuk akal mengenai cinta, yang menurutnya memang merupakan jawaban atas problem eksistensi manusia. Kita dilahirkan sebagai individu yang terpisah, yang akan menghadapi segala ketidakpastian di dunia ini. Kita sadar akan kelemahan kita, bahwa tidak ada yang bisa benar-benar kita kontrol. Kesadaran ini cenderung menjadi sumber kecemasan yang besar, sehingga kita butuh solusi untuk kabur dari penjara kesendirian, dari gua keterpisahan. Karena itulah, hubungan interpersonal dengan manusia lain itu menjadi kebutuhan yang sangat penting untuk manusia.

 

Cinta, atau ketergantungan?

Tentu, sudah banyak orang yang telah berusaha untuk mengatasi masalah eksistensial ini. Banyak cara yang telah, dan masih dicoba, antara lain adalah dengan berorganisasi, menenggelamkan diri dalam narkoba dan alkohol, atau dalam proses menciptakan sesuatu yang baru. Erich Fromm setuju bahwa tindakan tersebut bisa mengobati penyakit ‘keterpisahan’, namun sifatnya hanya sementara dan parsial. Sama seperti halnya ketika kita sakit kepala, kita akan minum obat, yang akan menghilangkan rasa sakit. Tetapi, kalau rasa sakit itu datang lagi, berarti kita belum berhasil mengobati penyakit dari akarnya. Obat yang kita minum hanyalah sebuah solusi yang sementara.

 

Benarkah cinta bisa menyembuhkan? Beli di apotek mana?

Oke, sekarang saya bisa merasakan ketidaksabaran di dalam diri kalian. Jadi, cinta seperti apa yang bisa ‘menyembuhkan’ segalanya? Cinta yang dewasa, kalau menurut Fromm. Cinta yang dewasa itu seperti apa? (Astaga, kalian sungguh tidak sabaran!) Cinta yang dewasa bisa ditunjukkan dengan adanya suatu hubungan kesatuan yang dijalankan, sambil tetap mempertahankan individualitas dan integritas masing-masing. Cinta yang dewasa dibangun berdasarkan pengertian kuat bahwa kita tidak butuh cinta untuk kabur dari penjara kesendirian. Ketika kita merasa harus terus dilengkapi oleh keberadaan seseorang atau sesuatu, hubungan yang sebenarnya terjalin bukan cinta, melainkan ketergantungan. Pernah kan, kita mendengar (atau mengalami sendiri) titik kesepian yang sungguh sangat menyesakkan hingga kita butuh kehadiran seseorang untuk memberi ‘napas buatan’? Menurut Erich Fromm, hal itu sebenarnya bukan cinta, tetapi ketergantungan akan bantuan dan dukungan.

 

Mengintip Masa Lalu

Bukan hanya introspeksi yang diperlukan, tetapi juga retrospeksi. Sembari meminum gelas kopi saya yang ketiga untuk hari ini, saya mulai mengintip ke masa lalu sambil menyadari bahwa selama ini sering sekali saya tertipu. Bukan, bukan curhat (oke, curhat sedikit sih), tetapi mungkin karena selama ini saya salah mengerti, atau menolak untuk mengerti lebih dalam mengenai cinta. Apa yang saya kira cinta, ternyata adalah sebuah bentuk ketergantungan. Saya dan pasangan saya pada saat itu mengira ‘tugas’ kita berdua adalah untuk selalu ada untuk sama lain, dan saling melengkapi. I thought love was about completing each other, but maybe we’re already complete to begin with. Mungkin, ketakutan akan ketidaksempurnaan lah yang menjadi salah satu (dari sejuta) alasan mengapa hubungan saya sering gagal.

Saya percaya, semakin kita berani untuk mempelajari cinta tanpa asumsi dan paranoia, perlahan rasa takut itu akan hilang. Karena kita akan mulai mengalami dan memahami di saat yang bersamaan.

 

Terima kasih, Erich.

Apabila cinta itu diibaratkan sebagai air, cinta bukanlah hujan dari langit, melainkan sebuah keputusan untuk memulai perjalanan mencari air terjun yang indah dan berair jernih. Bukan perjalanan yang mudah dan aman, keberanian dan kepercayaan yang kuat akan sangat dibutuhkan untuk bertahan.

Saya akan membiarkan sahabat saya Erich Fromm (saya memang suka mengaku-ngaku, dan beliau sudah tidak ada di dunia ini untuk menyangkalnya) untuk menyimpulkan, bahwa Love is an act of faith, and whoever is of little faith is also of little love.