Alasan-alasan Kurang Bijak untuk Bertunangan

Ingat, pasanganmu itu bukan barang diskonan


Kalau kamu bernasib sama dengan saya, tentu kamu sudah sering mendengar pertanyaan “Kapan nyusul?” ketika berada di sebuah acara pernikahan. Makin banyak teman-temanmu yang menikah dan punya anak, dan kamu mendapati dirimu bingung. Mengapa kamu belum juga bertunangan?

Ya, kalau jawabannya adalah karena kamu belum mempunyai pasangan, tentu kamu tidak perlu bingung. Namun, bagaimana kalau kamu sudah mempunyai pasangan? Hari ini, saya akan membahas tentang alasan-alasan buruk, atau bahasa halusnya, kurang bijak, untuk bertunangan, yang dirangkum oleh seorang psikolog klinis dan penulis di Amerika, Andrea Bonior.


--Sebentar lagi usiamu 35 tahun. Atau 45. Atau 98. Ya, banyak dari kita yang takut dengan konsep menjadi ‘perawan tua’, karena itulah pada usia pertengahan 20an, pernikahan sudah mulai menjadi prioritas utama. Ketika kita memutuskan untuk bertunangan karena takut ‘terlambat’ (baca: usianya terlalu tua), keputusan kita itu didasari oleh ketakutan, dan bukan keyakinan.

--Takut kehilangan kalau tidak bertunangan sekarang. Satu hal yang harus kita ingat, pasangan kita itu bukan barang diskonan. Kalau kita memutuskan untuk bertunangan karena takut kehilangan, berarti lagi-lagi keputusan kita itu didasari oleh ketidakrasionalan. Padahal bertunangan, yang akan dilanjutkan dengan pernikahan, harusnya menjadi suatu keputusan yang dipikirkan secara matang.

--Kamu nggak enak untuk menolak. Banyak sekali video yang bisa kita lihat di YouTube, tentang orang-orang yang melamar pasangannya di depan umum; dengan flash mob atau konsep unik lainnya. Di satu sisi, memang hal itu romantis dan unik, namun di satu sisi lagi, apa yang harus kamu lakukan kalau sebenarnya kamu belum siap? Tegakah kamu untuk menolak di depan orang banyak? Nah, menurut Andrea, banyak juga yang menerima karena tidak enak untuk menolak lamaran pasangannya. Masa, kamu mau bertunangan hanya karena rasa sungkan?

--Kamu adalah si ‘penghuni terakhir’ di Rumah Lajang. Ya, tentu saja posisimu sulit dan terkadang menakutkan. Kemanapun kamu pergi, kamu akan melihat pasangan yang sudah menikah. Pembicaraanmu dengan teman-temanmu pun juga jadi berbeda, karena mereka sudah hidup di dunia yang ‘baru’, sementara kamu masih di situ saja. Ketakutanmu itu terkadang bisa mendorongmu untuk melakukan hal-hal yang besar tanpa berpikir matang, seperti bertunangan. Coba, tarik napas dulu, dan mulai berpikir objektif. Lihat pengalaman orang-orang di sekitarmu; tidak semua pernikahan itu indah, lho. Pastikan bahwa kamu sudah melihat dari banyak sisi.

--Kamu tidak sabar untuk merencanakan resepsi pernikahan. Ketika kamu ‘terkontaminasi’ oleh indahnya resepsi pernikahan temanmu, atau foto-foto di Pinterest, kamu mulai tidak sabar untuk merencanakan pernikahanmu sendiri. Dimulai dari berkhayal soal souvenir, pelaminan, sampai gaun pengantinmu. Kamu tidak sabar sekali, dan ketidaksabaran ini mulai membuatmu ‘ngebet’ ingin menikah. Satu hal yang perlu diingat: resepsi pernikahan itu hanya akan berlangsung selama kurang lebih tiga jam, namun kehidupan pernikahan itu sendiri akan berjalan selama puluhan tahun.  Tiga jam vs. puluhan tahun… hmm..banyak juga ya bedanya?

--Pressure, danger. Bisa tekanan dari keluarga, teman-teman, atau rekan kerja. Intinya, Mungkin kamu ingin sekali agar kakek dan nenekmu bisa menghadiri pernikahanmu, dan kamu khawatir kalau terus menunda, mungkin semuanya akan terlambat. Atau, orang tuamu yang terus meminta cucu. Banyak sekali tekanan yang ada. Namun, ketika ini adalah perihal pernikahanmu sendiri, mana yang akan kamu pilih; kesiapan atau ekspektasi orang lain?

--Ingin segera punya anak. Usiamu sudah tidak belia lagi, dan kamu ingin segera punya anak agar usiamu tidak berbeda jauh dengan anakmu nanti. Banyak yang ingin seperti itu. Karena itulah, ada juga yang ingin buru-buru menikah, karena waktu terus berjalan! Biarpun memang harus diakui bahwa memiliki anak merupakan bagian penting bagi mayoritas orang, tetapi adilkah kalau kamu memperlakukan pasanganmu seperti ‘alat penghasil anak’? Ya, memang ada hal-hal soal kesehatan dan usia subur yang harus kita pikirkan, tetapi sebenarnya kamu ingin menikah untuk apa? Untuk punya anak? Lalu pasanganmu akan ditaruh di mana?

Tunggu! Sebelum kamu ingin menimpuk saya dengan benda yang terdekat denganmu karena (mungkin) apa yang tertulis di atas itu ada benarnya, ingatlah bahwa maksud saya itu tidak buruk. Saya tidak bermaksud membuatmu kesal. Kita semua memiliki alasan dan tujuan yang berbeda-beda dalam hidup ini. Maksud saya dan Andrea dalam artikel ini adalah agar kita tidak menyesal di kemudian harinya. Keputusan untuk berkomitmen itu tidak semudah memilih untuk menonton film action atau romantic comedy.

Kita harus sadar, bahwa ketakutan dan kekhawatiran bukanlah alasan yang kuat untuk berkomitmen.  Cinta dan rencana logis yang disusun bersama mungkin adalah faktor yang lebih kuat. Mungkin. Bagaimana menurutmu?