Vakum? Mana Debunya?

Karena menjadi orang yang pengertian itu susahnya minta ampun.

 

Time out, istirahat, break, vakum; apakah salah satu dari istilah ini terdengar familiar untukmu? Apakah kamu pernah mengaplikasikannya di hubunganmu?

(Asumsikan kalian bukanlah salah satu dari pasangan beruntung yang bisa terus mendapatkan asupan kasih sayang dan pengertian untuk satu sama lain setiap saat).

Bayangkan ini. Kalian sudah berpacaran cukup lama, sampai akhirnya menyadari bahwa setiap kali bertengkar, alasannya itu-itu saja. Tidak ada perubahan. Masalah kalian empat bulan yang lalu masih saja sama dengan pemicu pertengkaran empat hari yang lalu. Apa yang salah?

Ada beberapa orang di sekitar saya yang sedang ‘vakum’ dengan pacarnya. Apa yang saya percayai tentang vakum dari sebuah hubungan mungkin berbeda dengan cara orang lain mengartikannya. Well, kita semua punya cara berbeda untuk mengartikan dan menanggapi ajakan vakum. Salah satu teman saya, misalnya, marah sekali ketika pacarnya minta vakum.

“Dia minta break dari gue sebentar, nggak saling kontak sama sekali selama dua minggu. Itu kan berarti dia udah bosen sama gue tapi masih belum berani buat ninggalin? Pasti sekarang dia lagi WhatsApp-an sama cewek lain, deh. Kalau mau putus, kenapa nggak putusin gue aja, sih?” Katanya dengan cukup gusar, sampai tersedak es teh manisnya.

Ya, hal itu mungkin terjadi. Bisa saja pacarnya minta jarak karena ingin mencari yang baru, tetapi belum berani melepaskan yang lama. Namun, saya pun percaya bahwa bisa jadi, pacarnya memang hanya butuh jarak sebentar untuk memikirkan dan melakukan rekonsiderasi tentang hubungannya. Mereka sudah berpacaran sekitar dua tahun, dan sudah sering sekali bertengkar karena hal itu-itu saja. Bukankah wajar untuk meminta jarak agar bisa lebih objektif? Respon teman saya akan pertanyaan pacarnya menunjukkan hilangnya objektivitas, dan kuatnya kecurigaannya terhadap pacarnya sendiri. Dengan kata lain, dia sudah tidak percaya dengan pacarnya sendiri.

Mengapa hal ini sering terjadi? Mengapa kata ‘vakum’ atau ‘break’ itu disalahartikan? Menurut saya, salah satu penyebabnya adalah karena kita semua punya ‘kamus’ yang berbeda. Inilah saatnya bertanya kepada sahabat saya, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

va·kum a 1. hampa udara: supaya benda yg akan ditaruh di ruang bola kaca itu tidak cepat rusak, ruang itu harus --; 2. kosong (tidak ada petugasnya, pejabatnya, dsb): supaya tidak -- , pengurus lama tetap menjalankan tugasnya sehari-hari sampai terbentuk pengurus baru;
 
Hmm…kurang spesifik. Mari kita coba kata yang lain.

beristirahat /ber·is·ti·ra·hat/ v 1. berhenti sebentar untuk melepaskan lelah: mereka ~ selama sepuluh menit sebelum melanjutkan pertandingan; 2. berlibur untuk mengaso: sesudah kenaikan, anak-anak ~ selama sebulan;

Nah. Berhenti sebentar untuk melepaskan lelah. Saya senang dengan penjelasan ini. Ketika kita ‘beristirahat’ dari sebuah hubungan, itu berarti kita menganggap hubungan itu melelahkan. Tidak ada yang salah dengan pernyataan itu. Namun, banyak juga yang langsung berteriak, “Jadi maksud kamu, aku bikin capek? Hah??!” dengan nada bicara yang sama sekali tidak membuat rileks. Mengapa (sebagian dari) kita menganggap bahwa permintaan untuk ‘vakum’ atau ‘break’ adalah akhir dari dunia?

Kita memang tidak perlu selalu memiliki cara yang sama untuk mengartikan sesuatu, tetapi sadarlah kalau ada kemungkinan besar pasangan kamu tidak memiliki definisi yang sama tentang hal itu. Saya juga pernah melihat ada laki-laki yang langsung tidur dengan perempuan lain setelah pacarnya minta ‘break’. Contohnya, Ross dari serial TV Friends (coba cek episode 15, season 3). Di episode itu, Rachel merasa bahwa Ross terlalu memaksakan kehendaknya untuk merayakan anniversary bersama, sementara Rachel sedang ada banyak sekali kerjaan.  Ketika Ross tetap memaksa untuk datang ke kantor Rachel dan malah membuat kekacauan di sana, mereka akhirnya bertengkar hebat; Ross curiga Rachel ‘sok sibuk’ karena sedang naksir teman kantornya. Keruwetan ini membuat Rachel merasa mereka memang perlu waktu sendiri dari satu sama lain. Hal ini membuat Ross kecewa, dan akhirnya Ross tidur dengan orang lain.

Tidak ada yang bisa disalahkan di kasus ini. Yang bisa disalahkan hanya satu, ketidaktahuan mereka akan ketidaktahuan mereka sendiri. Ya, maaf, agak berbelit kalimatnya. Maksud saya, Ross berasumsi bahwa cara Rachel mengartikan ‘break’ itu sama dengan caranya sendiri. Padahal, ya berbeda sekali. Cara Ross melihat ‘break’ adalah putus, dan cara Rachel mengartikan ‘break’, ya, berarti istirahat sebentar sampai bisa berpikir jernih.

Taking a break bukan berarti break up. Ketika rutinitas hubungan membuat kita merasa kehilangan arah dalam hubungan, tentu kita butuh waktu untuk bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang kamu mau dari hubungan ini?” Keingintahuan itu lebih baik dari ketidakingintahuan.  

Tips: kalau memang kamu percaya bahwa break itu penting demi kesehatan sebuah hubungan, pastikan break kamu tidak main-main. Orang yang sedang beristirahat dari rutinitasnya bermain komputer tidak seharusnya tetap ‘main mata’ dengan komputernya. Apabila memang benar-benar ingin break—dengan niat tulus untuk memperbaiki hubungan dan mencari tahu tentang apa yang kita inginkan--jangan bertingkah seperti detektif di dunia maya (kamu tahu maksud saya, bukan?)

Give yourself a real break from her/ him, and think. But don’t take the trust for granted. Taking a break does not give you the license to act single. Be a responsible break-taker.

Jadi, apa pendapat kalian tentang break dari relationship?